Total Tayangan Halaman


Selasa, 06 September 2011

Perbedaan Sales dan Marketing - Part 2. Marketing

Kita akan melanjutkan pembahasan topik perbedaan antara Sales dan Marketing. Apabila Anda belum membaca tulisan saya di Part 1 mengenai Sales, saya sarankan untuk membacanya terlebih dahulu.

Marketing menjadi istilah yang umum digunakan untuk menyebutkan fungsi pemasaran secara luas, walaupun kadang fungsi yang dijalankan sesungguhnya adalah fungsi Sales. Seberapa sering Anda menemukan pengumuman lowongan kerja yang mencantumkan: DICARI MARKETING, penghasilan tetap bulanan plus komisi besar, punya SIM C (hmm, sudah menjadi indikator kuat bahwa pekerjaan sesungguhnya adalah Sales!).

Nah, supaya lebih jelas, mari kita lihat beberapa hal umum mengenai pengukuran fungsi Marketing, yang membedakannya dari fungis Sales:

  1. Market Share. Inti utama dari pekerjaan Marketing adalah pencapaian pangsa pasar, yakni seberapa besar merek kita dipilih oleh konsumen di industri yang dimasuki. Contoh: dari 100 orang konsumen permen karet, 70 orang memilih merek kita, artinya pangsa pasar (market share) kita mencapai 70% dan menjadi market leader di kategori permen karet. Market Share umumnya dibagi 2, secara Volume (kuantitas) dan Value (nilai rupiah).
  2. Market Penetration; seberapa dalam kategori produk yang kita jual sudah diterima di masyarakat target market. Contoh: tingkat penetrasi penggunaan internet di Indonesia masih kurang dari 10% vs total penduduk. Tantangan marketing adalah bagaimana meningkatkan market penetration sehingga menciptakan lebih banyak user di katergori yang dimasuki. Semakin tinggi tingkat penetrasi pasar, semakin baik bagi bisnis yang dimasuki.
  3. New Product Development; pengembangan produk baru menjadi kunci kelangsungan merek, karena selain mampu menarik konsumen baru, hal ini juga membantu menciptakan noise di pasar, sehingga merek kita tetap terdengar dan dibicarakan. Contoh yang paling saya suka adalah di industri restoran, bagaimana Hoka Hoka Bento dan Bakmi Gajah Mada selalu berinovasi dalam menciptakan menu makanan baru, walaupun kadang menu baru tersebut hanya menyumbang penjualan yang tidak besar dan hanya menjadi pelengkap, namun hal tersebut mampu membuat pelanggan tetap loyal dan kembali lagi dan lagi. Coba perhatikan menu Bakmi GM, selalu diatas kertas orderan yang berukuran B5 (1/2 A4) ada selembar kertas kecil yang berisi tiga menu paket hemat, yang selalu rutin berganti dari waktu ke waktu. Masih ingat Burger Rendang dari McDonald's? Gagal total secara produk, tapi berhasil meningkatkan awareness merek karena menjadi perbincangan konsumen.
  4. New Product Launch/Re-Launch; seringkali dianggap mampu memperbaiki kinerja perusahaan. Biasanya dalam upaya meningkatkan market share dan penjualan, pemasar akan meluncurkan suatu produk baru yang bisa saja merupakan pengembangan merek yang sudah ada, penambahan varian yang sudah ada, atau meluncurkan suatu produk yang sama sekali baru. Bahkan bukan tidak mungkin produk yang sama persis diluncurkan kembali, dengan merek sama maupun berbeda (Contoh: Sosro Green Tea, setelah di reaunch menjadi JoyTea Green Tea). Saya suka dengan konsep relaunch yang dilakukan Hero Supermarket. Ingat Hero yang dulu memborbardir pasar dengan tematik iklan "Think Fresh"? Apa yang terjadi dulu? Saya pribadi merasakan Hero tidak berhasil men-deliver message "Think Fresh" mereka, karena kenyataannya di toko mereka saya tidak mendapatkan kesan tersebut. Kenapa? Karena kalau saya cari buah, buahnya kebanyakan jelek, antara sudah mau busuk atau masih terlalu mentah. Atmosfer toko juga jauh dari kesan fresh, yang saya dapatkan adalah kesan kumuh, kurang terang, penataan produk yang tidak memikat, dan yang paling parah, harganya mahal! Benar-benar blunder, di saat Hero melakukan kampanye iklan TV besar-besaran, tapi tidak diikuti dengan perbaikan di level operasional. Paling tidak saat ini perubahan sudah saya rasakan saat saya masuk ke outlet Hero, setelah mereka melakukan re-modelling (istilah yang umum di dunia retail, konsepnya sama seperti relaunch). Pertama mereka memilah toko mana yang masih menggunakan nama Hero Supermarket, yaitu lokasi yang premium, kebanyakan di mall kelas menengah atas, sementara sisanya berganti nama menjadi Giant. Kedua, mereka melakukan perbaikan interior design dan penataan produk. Terlihat jelas saat ini mereka lebih mampu men-deliver message Fresh (tanpa perlu iklan besar-besaran). Product assortments juga sudah lebih baik, buah dan sayuran terlihat segar dan memikat mata. Semoga Hero Supermarket secara konsisten membenahi komitmen mereka dalam hal ini, demi kelangsungan bisnis mereka.
  5. Product Portfolio; keragaman jenis produk yang dimiliki pemasar. Seperti Unilever yang memiliki product portfolio yang luar biasa besar, dari es krim sampai pembasmi nyamuk, dari kecap sampai detergent, dari pasta gigi sampai teh celup. You name it, semua ada! Yang tidak ada pun jadi ada, mereka secara agresif melakukan pembelian perusahaan yang sudah ada di industri yang ingin mereka masuki. Mereka membeli Taro Snack (walaupun baru saja dijual kembali ke Tiga Pilar Sejahtera), mereka membeli Kecap Bango (industri yang belum pernah dimasuki). Walaupun tidak semua kategori yang dimasuki Unilever berhasil, seperti merek Tara Nasiku, merek nasi instan yang berusaha mereka ciptakan, atau Mie & Me (masih ingat?) yang membuat Indofood bereaksi keras dengan meluncurkan Chatz Mie - sama-sama gagal di pasar -, namun Unilever mampu menjadikan portfolio produk mereka sebagai "senjata". Bayangkan saat saya sebagai pemilik toko dibujuk untuk menjual produk baru yang belum jelas prospeknya. Saat saya mengatakan tidak pada distributor Unilever, maka besar kemungkinan saya juga tidak diberikan "jatah" produk Rinso, Sunlight, Pepsodent, SariWangi, dll, merek-merek mereka yang sudah menjadi market leader di industrinya. Berapa besar potensi kehilangan bisnis toko saya kalau saya tidak mendapat produk-produk mereka yang laris tersebut? Pada akhirnya saya akan memilih untuk menerima penawaran untuk membeli produk baru mereka, daripada saya tidak bisa menjual produk mereka yang lainnya.
  6. Production Capacity; seringkali menjadi join responsibility antara Marketing dan Plant (Pabrik). Bagaimana mengatasi kapasitas produksi yang terbatas, atau meningkatkan utilisasi pabrik dengan melakukan promosi yang meningkatkan penjualan.
  7. Promotion Budget suatu merek berada di bawah kendali Marketing, BUKAN Sales. Marketing yang akan menentukan seberapa besar budget yang dibutuhkan untuk pengembangan merek, peluncuran produk baru, peluncuran tema iklan baru, dan budget Trade Promotion -yang dalam pelaksanaannya akan banyak dibantu oleh Sales, terutama dalam hal in-store promotion-.
  8. Media Planning; bagaimana menentukan burst thematic campaign, kapan memasang iklan di TV, berapa banyak stasiun TV, media cetak, dll.
  9. Brand Equity; meliputi banyak faktor, antara seberapa besar nilai merek tersebut dimata pelanggan. Seringkali berhubungan dengan masa edar produk, semakin lama semakin tinggi equity mereknya. Brand equity seringkali lebih berpengaruh dibandingkan produk itu sendiri. Contohnya, kekuatan merek Sari Wangi begitu luar biasa. Sedikit yang tahu bahwa Unilever membeli hak atas merek Sari Wangi dari PT. Sari Wangi A.E.A di tahun 1989, dan menandatangani kontrak pengerjaan pembuatan teh celup dengan merek yang sama (berakhir di tahun 2002). Sejak tahun 2003, pemilik awal teh Sari Wangi meluncurkan teh celup Sedap Wangi (yang diklaim dalam blind test lebih disukai konsumen, bisa check ke http://finance.groups.yahoo.com/group/PASAR_TEH/message/8), namun sekarang sudah sangat sulit menemukan merek Sedap Wangi di pasaran. Disinilah kekuatan merek menjadi jawabannya. Bahkan untuk produk yang sama, kekuatan merek akan menentukan hasil akhir.
  10. Corporate Social Responsibility; masih seringkali dipandang sebagi aktivitas marketing terselubung, semakin hari semakin banyak perusahaan yang melakukan aktivitas CSR ini. Tujuan utamanya tentu untuk memberikan image positif di mata masyarakat. Aktivitas umum seperti menyelenggarakan Khitanan Massal Gratis, sampai menyumbangkan sebagian dari nilai penjualan. Tanggung jawab CSR ini ada dibawah Marketing.
  11. Marketing Plan; gambaran secara terperinci mengenai aktivitas marketing yang akan dijalankan dalam periode tertentu, biasanya 1 tahun ke depan. Meliputi strategi promosi, dan strategi pengembangan produk/merek di masa tersebut, serta target yang diharapkan.
  12. Public Relation; semakin penting peranannya, bagaimana perusahaan berhubungan dengan pihak luar, seperti media massa, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan aparat berwenang. Dapat bernaung di bawah Marketing atau berdiri sendiri.
  13. Research & Development; biasanya join responsibility dengan Plant, dalam menentukan riset dan pengembangan produk yang sesuai dengan permintaan pasar atau berpotensi sukses di pasar. Inisiator biasanya datang dari Marketing, yang ditindaklanjuti oleh team R&D.
  14. Customer Service; menangani keluhan dan pertanyaan pelanggan. Pelanggan yang dimaksud bisa terdiri dari konsumen end user maupun pihak yang berkepentingan seperti buyer dari Key Account. Seringkali masih dipandang sebelah mata, CS semakin terasa dibutuhkan, mengingat tingkat persaingan yang semakin sengit dan informasi yang semakin mudah dan cepat didapatkan oleh konsumen. Issue mengenai kontaminasi produk oleh sesuatu zat akan berdampak luar biasa negatif apabila tidak ditangani oleh Customer Service yang profesional.

Sebenarnya masih banyak sekali pengukuran kinerja Marketing, yang tidak mungkin semuanya dapat dibahas disini.

Semoga dengan penjelasan di atas, semakin jelas perbedaan antara Sales & Marketing.

Pertanyaan selanjutnya, kapan sebuah perusahaan perlu untuk memisahkan peranan Sales & Marketing menjadi dua departemen terpisah?

Jawabannya adalah tergantung. Tergantung dari size (ukuran) perusahaan, semakin besar perusahaan akan semakin kompleks permasalahan yang dihadapi. Akan lebih baik untuk memisahkan fungsi Sales dan Marketing secara tegas sehingga masing-masing dapat menjalankan fungsinya secara sempurna. Secara umum, kebanyakan yang terjadi pada suatu perusahaan di tahap awal adalah hanya memiliki team Sales, yang bertugas melakukan penjualan. Seiring berjalannya waktu, muncul kompetitor dengan merek sendiri, muncul kesadaran konsumen mengenai pentingnya kualitas, sehingga membuat perusahaan mulai memikirkan mengenai pengelolaan merek. Dari sini akan tumbuh Departemen Marketing yang bertugas mengelola merek. Apakah harus selalu seperti itu langkahnya? Tentu tidak, jawabannya kembali, tergantung!

Saya sendiri selalu menekankan dalam setiap kesempatan saya berbicara kepada pengambil keputusan, seperti saat saya menjadi trainer untuk anak perusahaan Charoen Pokphand dan perusahaan rokok SUKUN serta perusahaan meubel knock down, bahwa setiap orang di perusahaan harus memiliki jiwa SALESMANSHIP, setiap orang di perusahaan harus menjalankan peranan sebagai "penjual" atau sales person. Saya mengatakan hal ini kepada bagian Finance, kepada bagian Marketing, bahkan kepada bagian Produksi/Pabrik. Contohnya bagian Finance, mereka harus menjalankan peranan "menjual" perusahaan kepada pemasok, dengan melakukan pembayaran tepat waktu misalnya, sehingga perusahaan dapat memperoleh pemasok terbaik dan mendapatkan pasokan bahan baku secara tepat waktu dalam kuantitas dan kualitaas yang sesuai. Departemen Pabrik harus "menjual" hasil produksi yang dapat diandalkan kualitasnya, lengkap petunjuk pemasangannya, lengkap segala baut dan perlengkapannya.

Seberapa sering Anda membeli produk yang memerlukan pemasangan/instalation sendiri, dan menemukan fakta bahwa baut yang dibutuhkan jumlahnya kurang dari yang tertera di instruction manual? Saya sering! Betapa menjengkelkan, dan hal seperti itu sudah cukup membulatkan tekad saya untuk tidak akan pernah membeli lagi merek produk tersebut. Jadi akan sia-sia saja usaha dari team Sales mereka, yang telah berhasil meyakinkan toko untuk menjual produk mereka, dan berhasil membuat saya selaku end-user untuk memilih merek mereka, namun pada akhirnya seluruh usaha mereka dalam membuat saya menjadi konsumen loyal sia-sia karena kesalahan team Pabrik!

Itulah sebabnya, setiap orang di perusahaan harus mendalami peranan sebagai Sales Person, memiliki jiwa salesmanship. Semoga catatan kecil saya ini cukup menggugah kita semua dalam memahami perbedaan antara Sales dan Marketing.

Pendapat Anda berbeda? Silakan komentari.

Disclaimer: segala diskusi yang ada disini tidak bermaksud untuk mendiskreditkan atau mempromosikan suatu produk/merek/jasa. Penyebutan merek dilakukan untuk melakukan perbandingan secara langsung, dan ditujukan untuk menjadikan diskusi lebih menarik. Segala pendapat yang ada hanya merupakan pendapat pribadi, dilakukan dengan akal sehat dan niat baik untuk kepentingan diskusi mengenai dunia Sales & Marketing. Segala kesalahan data, apabila ada, agar dikesampingkan karena tidak menjadi pokok penting dalam penulisan dan diskusi. Apabila ada pihak yang merasa dirugikan baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat menghubungi penulis melalui herianto.sumali@gmail.com dan menggunakan hak jawabnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar